Jumat, 12 Oktober 2012

askep decompensasi cordis



1. Definisi
Decompensasi Cordis adalah Keadaan abnormal dimana terdapat gangguan fungsi jantung yang mengakibatkan ketidak mampuan jantung dalam memompa darah keluar untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh waktu istirahat maupun aktivitas normal. (murwani, 2009: 58)
Decompensasi Cordis adalah keadaan dimana jantung tidak mampu memompakan darah dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh untuk keperluan metabolisme dan oksigen. (Nugroho, 2011: 269)
Gagal Jantung dapat juga dikatakan sebagai sekumpulan tanda dan gejala, ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. (Sudoyo, 2011: 341)
Dari beberapa definisi diatas penulis menyimpulkan bahwa Decompensasi Cordis adalah ketidakmampuan jantung memompa darah keseluruh tubuh untuk memenuhi metabolisme tubuh, sehingga terjadi defisit penyaluran o2 ke organ-organ tubuh lainya.

2. Anatomi Fisiologi



Jantung adalah organ berongga yang memiliki empat ruang, terletak antara kedua paru-paru di bagian tengah rongga toraks. Dua pertiga jantung terletak di sebelah kiri garis midsternal (bagian dalam) dan dilindungi mediastinum. Jantung berukuran sebesar kepalan tangan pemiliknya, bentuknya seperti kerucut tumpul, ujung atas melebar ke arah bahu kanan, sedangkan ujung bawah mengarah ke panggul kiri (Syaifuddin, 2009 : 109).
Jantung mempunyai 4 pompa terpisah yaitu : 2 pompa primer atrium dan 2 pompa tenaga ventrikel. Periode akhir kontraksi jantung sampai akhir berikutnya dinamakan siklus jantung. Tiap siklus dimulai oleh timbulnya potensial aksi secara spontan pada simpul Sino Atrial node (SA) pada dinding posterior atrium kanan dekat muara vena kava superior. Potensial aksi berjalan dengan cepat melalui berkas Atrio Ventrikuler (AV) ke dalam ventrikel. Pada susunan khusus sistem penghantar atrium terdapat perlambatan 1/10 detik antara jalan impuls jantung dan atrium ke dalam ventrikel, memungkinkan atrium berkontraksi mendahului ventrikel (Syaifuddin, 2009 : 112).

3.  Etiologi
a.    Kelainan otot jantung
Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, yang berdampak pada menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi.
b.    Aterosklerosis koroner
Kelainan ini mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infrak miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
c.    Hipertensi sistemik atau hipertensi pulmonal
Gagguan ini menyebabkan meningkatnya beban kerja jantung dan gilirannya juga turut mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi, karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung.
d.    Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Gangguan kesehatan ini berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung dapat merusak serabut jantung dan menyebabkan kontraktilitas menurun.
e.    Penyakit jantung yang lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya tidak langsung mempengaruhi organ jantung. Mekanisme yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung (misalnya stenosis katup semiluner) serta ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah (misalnya tamponade perikardium, perikarditas, konstriktif, atau stenosis katup siensi katup AV) (Ardiansyah,2012:24).
4. Patofisiologi
Bila kekuatan jantung untuk menapung stres tidak mencukupi dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, jantung akan gagal untuk melakukan tugasnya sebagai organ pemompa, sehingga terjala yang namanya gagal jantung. Pada tingkat awal, disfungsi komponen pompa dapat mengakibatkan kegagalan jika cadangan jantung normal mengalami payah dan kegagalan respon fisiologis tertentu pada penurunan curah jantung adalah penting. Semua respon ini menunjukan upaya tubuh untuk mempertahankan perfungsi organ vital normal.
Sebagai respon tehadap gagal jantung, ada tiga mekanisme respon primer, yaitu meningkatnya aktivitas. Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung.
            Mekanisme-mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini pada keadaan normal.

5. Manifestasi Klinis
Menurut Ardiansyah (2012:28), manifestasi klinis dari Decompensasi Cordis meliputi :
a.    Dispnea, yang terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Gangguan ini dapat terjadi saat istirahat ataupun beraktivitas.
b.    Orthopnea, yaitu kesulitan bernafas saat penderita berbaring.
c.    Proximal, yaitu nokturna dispnea. Gejala ini biasanya terjadi saat pasien duduk lama dengan posisi kaki atau tabgan dibawah atau setelah pergi berbaring ditempat tidur.
d.    Batuk, baik kering maupun basah sehingga menghasilkan daha atau lendir.
e.    Mudah lelah, dimana gejala ini muncul akibat cairan jantung yang kurang sehingga menghambat sirkulasi cairan dan sirkulasi oksigen.
f.     Kegelisahan akibat gangguan oksigenasi jaringan.
g.    Disfungsi ventrikel kanan dengan tanda-tanda berikut:
1). Edema ekstremitas bawah.
2). Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kana atas.
3). Anoreksia dan mual.
4). Rasa ingin kencing pada malam hari.
5). Badan lemah akibat menurunya curah jantung.

6. Komplikasi
a.  shock kardiogenik
Shock kardiogenik ditandai dengan adanya gangguan fungsi ventrikel kiri. Dampaknya adalah terjadi gangguan berat pada fungsi jaringan dan penhantaran oksigen ke jaringan. Gejala ini merupakan gejala yang khas terjadi pada kasus shock kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokardium akut. Gangguan ini disebabkan oleh kehilangan 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vokal di seluruh ventrikel, karena ketidak seimbangan antara kebutuhan dan persendian oksigen miokardium
b.  Edema paru-paru
Edema paru terjadi dengan cara yang sama seperti edema yang muncul di bagian tubuh mana saja, termasuk faktor apapun yang menyebabkan cairan interstitial paru-paru meningkat dari batas negatif menjadi batas positif. (Ardiansyah, 2012: 30).




7. Pemeriksaan Penunjang
a.  Radiografi thoraks seringkali menunjukkan kardiomegali.
b.  Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnomalitas pada sebagian besar pasien, termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia
c.   Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung.
d.  Tes darah direkomendasikan untuk menyingkirkan anemia dan menilai fungsi ginjal sebelum terapi dimulai.
e.  Tes latihan fisik seringkali dilakukan untuk melihat adanya iskemia miokard dan pada beberapa kasus untuk mngukur konsumsi oksigen maksimum. (Gray, 2002: 84)

8. Penatalaksanaan
a.  Meningkatkan oksigen dengan pemberian oksigen dan menurunkan kosumsi O2 melalui istirahat/ pembatasan aktivitas
b.  Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
1)  Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis, miksedema, dan aritmia.
2)  Digitalisasi :
a)  Dosis Digitalisi :
(1)  Digoksin oral untuk Digitalisasi cepat 0,5-2mg dalam 4-6 dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari
(2)  Digoksin iv 0,75-1mg dalam 4 dosis selama 24 jam
(3)  Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam
b)  Dosis penunjang untuk gagal jantung  : dogoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
c)   Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg
d)  Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat
(1)  Digoksin : 1-1,5 mg iv perlahan-lahan
(2)  Cedilanid 0,4-0,8 mg iv perlahan-lahan
(Arif, 2000: 435)

B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Wawan Juni Udjianti (2010: 170) pengkajian dasar data pada klien dengan Decompensasi Cordis adalah:
a.  Riwayat keperawatan
1)  Keluhan
a)   Dada terasa berat (seperti memakai baju ketat).
b)   Palpitasi atau berdebar-debar
c)    Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) atau orthopnea, sesak napas saat beraktifitas, batuk (hemopte), tidur harus pakai bantal lebih dari dua buah.
d)   Tidak nafsu makan, mual dan muntah.
e)   Letargi (kelesuan) atau fatigure (kelelahan).
f)     Insomnia
g)   Kaki bengkak dan berat badan bertambah
h)   Jumlah uurine menurun
i)     Serangan timbul mendadak/sering kambuh
2)  Riwayat penyakit : hipertensi renal, angina, infark miokard kronis, diabetes mellitus, bedah jantung, dan disritmia
3)  Riwayat diet : intake gula, garam, lemak, kafein, cairan, alcohol
4)  Riwayat penngobatan : toleransi obat, obat-obat penekan fungsi jantung, steroid, jumlah cairan per-IV, alergi terhadap obat tertentu
5)  Pola eliminasi urine : oliguria, nokturia
6)   Merokok : perokok, cara/jumlah batang per hari, jangka  waktu
7)  Postur, kegelisahan, kecemasan
8)  Factor predisposisi dan presipitasi : obesitas, asma, atau COPD yang merupakan factor pencetus penceppatan kerja jantung dan mempercepat perkembangan CHF.
b.  Studi diagnostic
1)  Hitung sel daran lengkap : anemia berat/anemia gravis atau polisitemia vera
2)  Hitung sel daran putih : lekositosis (endokarditis dan miokarditis) atau keadaan infeksi lain
3)  Analisi gas darah (AGD) : menilai derajat gangguan keseimbangan asam basah baik metabolic maupun respiratorik
4)  Fraksi lemak : peningkatan kadar kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein merupakan resiko CAD dan penurunan perfusi jaringan
5)  Serum katekolamin : pemeriksaan untuk mengkesampingkan penyakit adrenal
6)  Sedimentasi meningkat akibat adanya anflamasi akut
7)  Tes fungsi ginjal dan hati : menilai efek yang terjadi akibat CHF terhadap fungsi hati atau ginjal
8)  Tiroid : menilai peningkatan aktivitas tiroid
9)  Echocardiogram : menilai stenosis/inkompetensi, pembesaran ruang jantung, hipertrofi ventrikel
10)     Scan jantung : menilai underperfusin otot jantung, yang menunjang penurunan kemampuan kontraksi
11)     Rontgen toraks : untuk menilai pembesaran jantung ( cardio thoraxic ratio/CTR) dan edema paru
12)     Kateterisasi jntung : menilai fraksi ejeksi ventrikel
13)     EKG : menilai hipertrofi atrium/ventrikel, iskemia, infark, dan disritmia
c.   Pemeriksaaan fisik
1)  Evaluasi status jantung : berat badan, tinggi badan, kelemahan, toleransi aktivitas, nadi parifer, displace lateral PMI/iktus kordis, tekanan darah, mean arterial pressure, bunyi jantung denyut jantung, pulsus alternanas, gallop’s, murmur, obstruktif idiopathic hypertrophic sub-aorti stenosis (IHSS)
2)  Respirasi : diispnea, orthopnea, PND, suara napas tambahan (ronkhi, rales, wheezing)
3)  Tampak pulsasi vena jugularis, JVP>3 cmH2O, hepatojugular refluks
4)  Evaluasi factor stress : menilai insomnia, gugup atau rasa cemas/takut yang kronis
5)  Palpasi abdomen : hepatomegali, splenomegali, asites
6)  Konjungtiva pucat, sclera ikterik
7)  Capillary Refill Time (CRT) > 2 detik, suhu akral dingin, diaphoresis, warna kulit pucat dan pitting edema.

2.  Diagnosa Keperawatan
Menurut muttaqin (2009:228), diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus Dicompensasi Cordis adalah :
a. Menurunnya curah jantung yang berhubungan dengan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, dan konduksi elektrikat.
b. Nyeri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen dengan kebutuhan miokardium sekunder daru penurunan suplai darah ke miokardium, peningkatan produksi asam laktat.
c. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan perembesan cairan, kongesti paru sekunder, perubahan membran kapiler alveoli, dan retensi cairan interstisial.
d. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan di paru sekunder pada edema paru akut.
e.  Gangguan perfusi perifer yang berhubungan dengan menurunnya curah jantung.
f.  Penurunan tingkat kesadaran yang berhubungan dengan penurunan aliran darah ke otak.
g. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke jaringan dengan kebutuhan sekunder dari penurunan curah jantung.
h.  Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan penurunan intake, mual, dan anoreksia.
i.   Gangguan pemenuhan istirahat dan tidur yang berhubungan dengan adanya sesak napas.
j.   Risiko tinggi cedera yang berhubung dengan pusing dan kelemahan.
k. Koping individu tidak efektif yang berhungan dengan prognosis penyakit, gambaran diri yang salah, dan perubahan peran.
l.   Risiko kekambuhan yang berhungan dengan ketidakpatuhan terhadap aturan terapeutik, tidak mau menerima perubahan pola hidup yang sesuai.



3.  Perencanaan
a.  Menurunnya curah jantung yang berhubungan dengan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, dan konduksi elektrikat.
              Tujuan           :    Dalam waktu 3 x 24 jam penurunan curah jantung dapat teratasi.
              kriteria hasil  :    Klien akan melaporkan penurunan episode dispnea.
              Intervensi                       :
1)  Kaji dan laporkan tanda penurunan curah jantung.
2)  Catat bunyi jantung.
3)  Palpasi nadi perifer.
4)  Istirahkan pasien dengan tirah baring optimal.
Rasionalisasi :
1)  Kejadian mortalitas dan morbiditas sehubungan dengan MI yang lebih dari 24 jam pertama.
2)  S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa, irama gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah ke dalam serambi yang distensi murmur dapat menunjukkan inkompetensi/stenosis mitral.
3)  Penurunan curah jantung menunjukkan menurunnya nadi, radial, popliteal, dorsalis pedis, dan postibial.
4)  Oleh karena jantung tidak dapat diharapkan untuk benar-benar istirahat untuk sembuh seperti luka pada patah tulang, maka hal terbaik yang dilakukan adalah mengistirahatkan klien. Melalui inaktivitas, kebutuhan pemompaan jantung.
b.   Nyeri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen dengan kebutuhan miokardium sekunder daru penurunan suplai darah ke miokardium, peningkatan produksi asam laktat.
              Tujuan           :    Dalam waktu 3 x 24 jam tidak ada keluhan dan terdapat penurunan respons nyeri dada
              Kriteria hasil :    Secara subjektif klien menyatakan penurunan rasa nyeri dada.
              Intervensi      :
1)     Catat karakteristik nyeri, lokasi, intensitas, lama, dan penyebarannya.
2)     Anjurkan kepada klien untuk melaporkan nyeri dengan segera.
3)     Lakukan manajemen nyeri keperawatan:
4)     Atur posisi fisilogis.
5)  Istirahatkan pasien.
6)  Ajarkan teknik telaksasi pernapasan dalam
7)  kolaborasi pemberian terapi farmakologis antiangina.
              Rasionalisasi    :
1)  Variasi penampilan dan perilaku klien karena nyeri terjadi sebagai temuan pengkajian.
2)  Nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada kematian mendadak.
3)  Posisi fisiologis akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan perifer.
4)  Meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia jaringan otak.
5)  Obat-obatan antiangina bertujuan untuk meningkatkan aliran darah, baik dengan menambah suplai oksigen atau dengan mengurangi kebutuhan miokardium akan oksigen.
c.   Kerusakan pertukaran gas yang berhungan dengan perembesan cairan, kongesti paru sekunder, perubahan membran kapiler alveoli, dan retensi cairan interstisial.
              Tujuan           :    Dalam waktu 3 x 24 jam tidak ada keluhan sesak atau terdapat penurunan respons sesak napas.
              Kriteria hasil :    Secara subjektif klien menyatakan penurunan sesak napas.
               Intervensi      :
1)     Berikan tambahan O2  6 liter/menit.
2)     Koreksi keseimbangan asam basa.
3)     Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan napas dalam.
4)     Kolaborasi
-     RL 500 cc/24 jam
-     Digoxin 1-0-0


                   Rasionalisasi :
1)     Untuk meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas.
2)     Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi pernapasan.
3)      Kongesti yang berat akan memperburuk proses pertukaran gas sehingga berdampak pada timbulnya hipoksia.
4)      Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat mengurangi timbulnya edema dan dapat mencegah gangguan pertukaran gas.
d.  Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan di paru sekunder pada edema paru akut.
              Tujuan           :    Dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas.
                                                              Kriteria hasil :    Klien tidak sesak napas.
.                                                             Intervensi      :
1)  Auskultasi bunyi napas (krakles).
2)  Kaji adanya edema.
3)  Ukur intake dan output.
4)  Kolaborasi dalam pemberian diet tanpa garam.
Rasionalisasi :
1)  Indikasi edema paru sekunder akibat dekompensasi jantung.
2)  Curiga gagal kongestif/kelebihan volume cairan.
3)  Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan keluaran urine.
4)  Natrium meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan volume plasma yang berdampak terhadap peningkatan beban kerja jantung dan akan membuat kebutuhan miokardium meningkat.
e.  Gangguan perfusi perifer yang berhubungan dengan menurunnya gurah jantung.
              Tujuan           :    Dalam waktu 2 x 24 jam perfusi perifer meningkat.
              Kriteria hasil :    klien tidak mengeluh pusing,TTV dalam batas normal.
              Intervensi      :
1)  Auskultasi TD. Bandingkan kedua lengan.
2)  Kaji warna kulit, suhu, sianosis
3)  Kaji kualitas peristaltik, jika perlu pasang sonde.
4)  Pantau urine output.
5)  Kolaborasi
Pertahankan cara masuk heparin (IV) sesuai indikasi.
          Rasionalisasi :
1)   Hipotensi dapat terjadi juga disfungsi ventrikel.
2)   Mengetahui derajat hipoksemia dan peningkatan tahanan perifer.
3)   Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya produksi urine.
4)   Jalur yang paten untuk pemberian obat darurat.
f.    Penurunan tingkat kesadaran yang berhubungan dengan penurunan aliran darah ke otak.
              Tujuan           :    Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi penurunan tingkat kesadaran.
              Kriteria hasil :    Klien tidak mengeluh pusing, TTV dalam batas normal.
              Intervensi      :
1)  Kaji status mental klien secara teratur.
2)  Observasi perubahan sensori dan tingkat kesadaran pasien.
3)  Kurangi aktivitas yang merangsang timbulnya respons valsava/aktivitas.
4)  Catat adanya keluhan pusing.
Rasionalisasi :
1)  Mengetahui derajat hipoksia pada otak.
2)  Bukti aktual terhadap penurunan aliran darah ke jaringan serebral adalah adanya perubahan respons sensori dan penurunan tingkat kesadara.
3)  Respons valsava akan meningkatkan beban jantung sehingga akan menurunkan curah jantung ke otak.
4)  Keluhan pusing merupakan manifestasi penurunan suplai darah ke jaringan otak yang parah.
g.  Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan kelebihan cairan sistemik.
              Tujuan           :    Dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan sistemik.
              Kriteria hasil :    Klien tidak sesak napas
              Intervensi      :
1)  Kaji adanya edema ekstremitas.
2)  Kaji tekanan darah.
3)  Kaji distensi vena jugularis.
4)  Ukur intake dan output.
5)  Kolaborasi berikan diet tanpa garam.
Rasionalisasi :
1)  Curiga gagal kongestif/kelebihan volume cairan.
2)  Sebagai salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat diketahui dengan meningkatkan beban kerja jantung.
3)  Peningkatan cairan dapat membebani fungsi ventrikel kanan yang dapat dipantau melalui pemeriksaan tekanan vena jugularis.
4)  Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan keluaran urine.
5)  Namun meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan volume plasma.
h.  Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke jaringan dengan kebutuhan sekunder dari penurunan curah jantung.
              Tujuan           :    Aktivitas sehari-hari klien terpenuhi dan meningkatnya kemampuan beraktivitas.
Kriteria hasil :    Klien menunjukkan kemampuan beraktivitas tanpa gejala-gejala yang berat.
Intervensi      :
1)      Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD, selama dan sesudah beraktivitas.
2)      Pertahankan klien pada posisi tirah baring sementara sakit akut.
3)      Pertahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis.
4)      Pertahankan penambahan O2 , sesuai kebutuhan.
Rasionalisasi :
1)      Respons klien terhadap aktivitas dapat mengindikasikan adanya penurunan oksigen miokard.
2)      Menurunkan kerja miokard/konsumsi oksigen.
3)      Untuk mengurangi beban jantung.
4)     Meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venous return.
5)     Untuk meningkatkan oksigenasi jaringan.
i.    Aktual/risiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan penurunan intake, mual, dan anoreksia.
              Tujuan           :    Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat peningkatan dalam pemenuhan nutrisi.
              Kriteria hasil :    klien secara subjektif termotivasi untuk melakukan pemenuhan nutrisi sesuai anjuran.
              Intervensi      :
1)  Jelaskan tentang manfaat makan bila dikaitkan dengan kondisi klien saat ini.
2)  Anjurkan agar klien memakan makanan yang disediakan di rumah sakit.
3)  Beri makanan dalam keadaan hangat dan porsi kecil serta diet TKTPRG.
4)  Kolaborasi
-     Dengan nutrisi tentang pemenuhan diet klien.
-     Pemberian multivitamin.
Rasionalisasi :
1)  Dengan pemahaman klien akan lebih kooperatif mengikuti aturan.
2)  Untuk menghindari makanan yang justru dapat mengganggu proses penyembuhan klien.
3)   Untuk meningkatkan selera dan mencegah mual, mempercepat perbaikan kondisi, serta mengurangi beban kerja jantung.
4)   Meningkatkan pemenuhan sesuai dengan kondisi klien.
5)   Memenuhi asupan vitamin yang kurang dari penurunan asupan nutrisi secara umum dan memperbaiki daya tahan.
j.    Gangguan pemenuhan istirahat dan tidur yang berhubungan dengan adanya sesak napas.
              Tujuan           :    Dalam waktu 3 x 24 jam keluhan gangguan pemenuhan tidur berkurang
              Kriteria hasil :    Klien tidak mengeluh mangantuk.
              Intervensi      :
1)  Catat pola istirahat dan tidur klien siang dan malam hari.
2)  Atur posisi fisiologis.
3)  Berikan oksigen tambahan dengan nasal kanul atau masker sesuai dengan indikasi.
4)  Kolaborasi pemberian obat sedatif.
Rasionalisasi :
1)  Variasi penampilan dan perilaku Klien dalam pemenuhan istirahat serta tidur.
2)  Posisi fisiologismana mengakibatkan asupan O2. Danrasa nyaman.
3)   Meningkatkan jumlah oksigen yang ada untuk pemakaian miokardium.
4)   Meningkatkan istirahat/relaksasi dan membantu klien dalam memenuhi kebutuhan tidur.
k.   Risiko tinggi cedera yang berhubung dengan pusing dan kelemahan.
              Tujuan           :    Dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi cidera kepala pada klien.
              Kriteria hasil :    Klien tidak terjatuh, TTV dalam batas normal.
              Intervensi      :
1)  Catat pola istirahat dan tidur klien siang dan malam hari.
2)  Pantau adanya pengaman pada tempat tidur klien.
3)  Atur posisi fisiologis.
Rasionalisasi :
1)  Variasi penampilan dan perilaku klien dalam pemenuhan istirahat dan tidur sebagai temuan pengkajian.
2)  Tempat tidur dengan adanya pengaman/pagar tempat tidur dapat mencegah klien jatuh pada saat gelisah dan mengalami kelemahan.
3)   Posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2 dan rasa nyaman.
l.    Cemas yang berhubungan dengan rasa takut akan kematian, ancaman, atau perubahan kesehatan.
              Tujuan           :    Dalam waktu 1 x 24 jam kecemasan klien berkurang.
              Kriteria hasil :    Klien menyatakan kecemasan berkurang.
              Intervensi      :
1)      Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut.
2)      Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, dampingi klien, dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
3)      Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
4)      Kolaborasi: berikan anticemas sesuai indikasi, contohnya diazepam.
   Rasionalisasi :
1)      Cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya.
2)      Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah, dan gelisah.
3)         Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
4)         Meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan.
m.   Koping individu tidak efektif yang berhungan dengan prognosis penyakit, gambaran diri yang salah, dan perubahan peran.
          Tujuan           :    Dalam waktu 1 x 24 jam klien mampu mengembangkan koping yang positif.
          Kriteria hasil :    Klien kooperatif pada setiap intervensi keperawatan.
          Intervensi      :
1)  Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan.
2)  Indentifikasi arti kehilangan atau disfungsi pada klien.
3)  Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan, termasuk permusuhan dan kemarahan.
4)  Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi.
     Rasionalisasi :
1)  Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi.
2)      Beberapa klien dapat menerima dan mengatur perubahan fungsi secara efektif.
3)         Menunjukkan penerimaan, membantu klien untuk mengenal, dan mulai menyesuaikan dengan perasaan tersebut.
4)         Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan.
n. Risiko kekambuhan yang berhungan dengan ketidakpatuhan terhadap aturan terapeutik, tidak mau menerima perubahan pola hidup yang sesuai.
     Tujuan           :    Dalam waktu 1 x 24 jam klien mengenal faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan risiko kekambuhan.
     Kriteria hasil :    Klien secara subjektif menyatakan bersedia dan termotivasi untuk melakukan aturan terapeutik jangka panjang.
     Intervensi      :
1)   Identifikasi faktor yang mendukung pelaksanaan terapeutik.
2)   Menyarankan kepada keluarga agar memanfaatkan sarana kesehatan di masyarakat.
3)   Hindarin merokok.
4)   Pendidikan kesehatan diet.
Rasionalisasi :
1)      Tanyakan keluarga terdekat apakah suami/istri atau anak mampu mandapatkan penjelasan dan menjadi pengawas klien.
2)      Untuk memudahkan klien dalam memantau status kesehatannya.
3)         Merokok akan meningkatkan adhesi trombosit merangsang pembentukan trombus pada arteri koroner.
4)         Komsumsi banyak makan garam merupakan salah satu faktor presipirasi serangan sesak napas dan edema ekstremitas.

4.  Implementasi
Fokus dari tahap implementasi asuhan keperawatan adalah kegiatan implementasi dari perencanaan intervensi untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional. Pendekatan asuhan keperawatan meliputi intervensi independen, dependen, dan interdependen
a.  Independen
Asuhan keperawatan independen adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dari dokter atau profesi kesehatan lainya. Type dati aktivitas yang dilaksanakan perawat secara independen didefinisikan berdasarkan diagnosis keperawatan.
b.  Interdependen
Asuhan keperawatan interdependen menjelaskan kegiatan yang meemerlukan kerjasama dengan profesi kesehatan lainya, seperti tenaga social, ahli gizi, fisioterapi, dan dokter.
c.   Dependen
Asuhan keperawatan dependen berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis. Tindakan tersebut menandakan suatu cara dimana tindakan medis dilaksanakan

5.    Evaluasi
Tahap evaluasi pada proses keperawatan meliputi kegiatan mengukur pencapaian tujuan pasien dan menentukann keputusan dengan cara membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian tujuan.
a.  Evaluasi proses
Fokus pada evaluasi proses atau formatif adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan asuhan keperawatan. Evaluasi proses harus dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan diimplementasikan untuk membantu menilai efektifitas intervensi tersebut.
b.  Evaluasi hasil
Fokus evaluasi hasil (sumatif) adalah perubahan perilaku atau status kesehatan pasien pada akhir asuhan keperawatan. Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir asuhan keperawatan secara paripurna.