1. Definisi
Decompensasi Cordis adalah Keadaan abnormal dimana terdapat
gangguan fungsi jantung yang mengakibatkan ketidak mampuan jantung dalam memompa darah
keluar untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh waktu istirahat maupun
aktivitas normal. (murwani, 2009: 58)
Decompensasi Cordis adalah keadaan
dimana jantung tidak mampu memompakan darah dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi
tubuh untuk keperluan metabolisme dan oksigen. (Nugroho, 2011: 269)
Gagal Jantung dapat juga
dikatakan sebagai sekumpulan
tanda dan gejala, ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat
aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. (Sudoyo,
2011: 341)
Dari
beberapa definisi diatas penulis menyimpulkan bahwa Decompensasi Cordis adalah
ketidakmampuan jantung memompa darah keseluruh tubuh untuk memenuhi metabolisme
tubuh, sehingga terjadi defisit penyaluran o2 ke organ-organ tubuh
lainya.
2. Anatomi
Fisiologi
Jantung
adalah organ berongga yang memiliki empat ruang, terletak antara kedua
paru-paru di bagian tengah rongga toraks. Dua pertiga jantung terletak di
sebelah kiri garis midsternal (bagian
dalam) dan dilindungi mediastinum.
Jantung berukuran sebesar kepalan tangan pemiliknya, bentuknya seperti kerucut
tumpul, ujung atas melebar ke arah bahu kanan, sedangkan ujung bawah mengarah
ke panggul kiri (Syaifuddin, 2009 : 109).
Jantung
mempunyai 4 pompa terpisah yaitu : 2 pompa primer atrium dan 2 pompa tenaga
ventrikel. Periode akhir kontraksi jantung sampai akhir berikutnya dinamakan siklus jantung. Tiap siklus dimulai oleh
timbulnya potensial aksi secara
spontan pada simpul Sino Atrial node (SA)
pada dinding posterior atrium kanan dekat muara vena kava superior. Potensial
aksi berjalan dengan cepat melalui berkas Atrio
Ventrikuler (AV) ke dalam ventrikel. Pada susunan khusus sistem penghantar
atrium terdapat perlambatan 1/10 detik antara jalan impuls jantung dan atrium
ke dalam ventrikel, memungkinkan atrium berkontraksi mendahului ventrikel
(Syaifuddin, 2009 : 112).
3. Etiologi
a. Kelainan
otot jantung
Gagal jantung paling sering terjadi pada
penderita kelainan otot jantung, yang berdampak pada menurunnya kontraktilitas
jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup
aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit otot degeneratif atau
inflamasi.
b. Aterosklerosis
koroner
Kelainan ini mengakibatkan disfungsi
miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia
dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infrak miokardium biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung.
c. Hipertensi
sistemik atau hipertensi pulmonal
Gagguan ini menyebabkan meningkatnya beban
kerja jantung dan gilirannya juga turut mengakibatkan hipertrofi serabut otot
jantung. Efek tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi, karena akan
meningkatkan kontraktilitas jantung.
d. Peradangan
dan penyakit miokardium degeneratif
Gangguan kesehatan ini berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi ini secara langsung dapat merusak serabut jantung
dan menyebabkan kontraktilitas menurun.
e. Penyakit
jantung yang lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat
penyakit jantung yang sebenarnya tidak langsung mempengaruhi organ jantung.
Mekanisme yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung
(misalnya stenosis katup semiluner) serta ketidak mampuan jantung untuk mengisi
darah (misalnya tamponade perikardium, perikarditas, konstriktif, atau stenosis
katup siensi katup AV) (Ardiansyah,2012:24).
4. Patofisiologi
Bila
kekuatan jantung untuk menapung stres tidak mencukupi dalam memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh, jantung akan gagal untuk melakukan tugasnya sebagai organ
pemompa, sehingga terjala yang namanya gagal jantung. Pada tingkat awal,
disfungsi komponen pompa dapat mengakibatkan kegagalan jika cadangan jantung
normal mengalami payah dan kegagalan respon fisiologis tertentu pada penurunan
curah jantung adalah penting. Semua respon ini menunjukan upaya tubuh untuk
mempertahankan perfungsi organ vital normal.
Sebagai
respon tehadap gagal jantung, ada tiga mekanisme respon primer, yaitu
meningkatnya aktivitas. Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk
mempertahankan curah jantung.
Mekanisme-mekanisme
ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau
hampir normal pada gagal jantung dini pada keadaan normal.
5. Manifestasi
Klinis
Menurut
Ardiansyah (2012:28), manifestasi klinis dari Decompensasi Cordis meliputi :
a.
Dispnea, yang terjadi akibat penimbunan cairan dalam
alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Gangguan ini dapat terjadi saat
istirahat ataupun beraktivitas.
b.
Orthopnea, yaitu kesulitan bernafas saat penderita
berbaring.
c.
Proximal, yaitu nokturna dispnea. Gejala ini biasanya
terjadi saat pasien duduk lama dengan posisi kaki atau tabgan dibawah atau
setelah pergi berbaring ditempat tidur.
d.
Batuk, baik kering maupun basah sehingga menghasilkan
daha atau lendir.
e.
Mudah lelah, dimana gejala ini muncul akibat cairan
jantung yang kurang sehingga menghambat sirkulasi cairan dan sirkulasi oksigen.
f.
Kegelisahan akibat gangguan oksigenasi jaringan.
g.
Disfungsi ventrikel kanan dengan tanda-tanda berikut:
1). Edema
ekstremitas bawah.
2).
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kana atas.
3).
Anoreksia dan mual.
4). Rasa
ingin kencing pada malam hari.
5). Badan
lemah akibat menurunya curah jantung.
6. Komplikasi
a. shock
kardiogenik
Shock
kardiogenik ditandai dengan adanya gangguan fungsi ventrikel kiri. Dampaknya
adalah terjadi gangguan berat pada fungsi jaringan dan penhantaran oksigen ke
jaringan. Gejala ini merupakan gejala yang khas terjadi pada kasus shock
kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokardium akut. Gangguan ini
disebabkan oleh kehilangan 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan
nekrosis vokal di seluruh ventrikel, karena ketidak seimbangan antara kebutuhan
dan persendian oksigen miokardium
b. Edema
paru-paru
Edema
paru terjadi dengan cara yang sama seperti edema yang muncul di bagian tubuh
mana saja, termasuk faktor apapun yang menyebabkan cairan interstitial
paru-paru meningkat dari batas negatif menjadi batas positif. (Ardiansyah, 2012: 30).
7. Pemeriksaan
Penunjang
a. Radiografi thoraks seringkali
menunjukkan kardiomegali.
b. Elektrokardiografi memperlihatkan
beberapa abnomalitas pada sebagian besar pasien, termasuk gelombang Q,
perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia
c.
Ekokardiografi
harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung.
d. Tes darah direkomendasikan untuk
menyingkirkan anemia dan menilai fungsi ginjal sebelum terapi dimulai.
e. Tes latihan fisik seringkali dilakukan
untuk melihat adanya iskemia miokard dan pada beberapa kasus untuk mngukur
konsumsi oksigen maksimum. (Gray, 2002: 84)
8. Penatalaksanaan
a. Meningkatkan oksigen dengan pemberian oksigen dan menurunkan
kosumsi O2 melalui istirahat/ pembatasan aktivitas
b. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
1) Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk
tirotoksikosis, miksedema, dan aritmia.
2) Digitalisasi :
a) Dosis Digitalisi :
(1) Digoksin
oral untuk Digitalisasi cepat 0,5-2mg dalam 4-6 dosis selama 24 jam dan
dilanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari
(2) Digoksin
iv 0,75-1mg dalam 4 dosis selama 24 jam
(3) Cedilanid
iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam
b) Dosis
penunjang untuk gagal jantung : dogoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien usia
lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
c) Dosis
penunjang digoksin untuk fibrilasi
atrium 0,25 mg
d) Digitalisasi cepat diberikan
untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat
(1) Digoksin
: 1-1,5 mg iv perlahan-lahan
(2) Cedilanid
0,4-0,8 mg iv perlahan-lahan
(Arif, 2000:
435)
B. Konsep
Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Wawan Juni Udjianti (2010: 170)
pengkajian dasar data pada klien dengan Decompensasi Cordis adalah:
a. Riwayat
keperawatan
1) Keluhan
a)
Dada terasa berat (seperti memakai baju
ketat).
b)
Palpitasi atau berdebar-debar
c)
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) atau
orthopnea, sesak napas saat beraktifitas, batuk (hemopte), tidur harus pakai
bantal lebih dari dua buah.
d)
Tidak nafsu makan, mual dan muntah.
e)
Letargi (kelesuan) atau fatigure
(kelelahan).
f)
Insomnia
g)
Kaki bengkak dan berat badan bertambah
h)
Jumlah uurine menurun
i)
Serangan timbul mendadak/sering kambuh
2) Riwayat
penyakit : hipertensi renal, angina, infark miokard kronis, diabetes mellitus,
bedah jantung, dan disritmia
3) Riwayat
diet : intake gula, garam, lemak, kafein, cairan, alcohol
4) Riwayat
penngobatan : toleransi obat, obat-obat penekan fungsi jantung, steroid, jumlah
cairan per-IV, alergi terhadap obat tertentu
5) Pola
eliminasi urine : oliguria, nokturia
6) Merokok : perokok, cara/jumlah batang per
hari, jangka waktu
7) Postur,
kegelisahan, kecemasan
8) Factor
predisposisi dan presipitasi : obesitas, asma, atau COPD yang merupakan factor
pencetus penceppatan kerja jantung dan mempercepat perkembangan CHF.
b. Studi
diagnostic
1) Hitung
sel daran lengkap : anemia berat/anemia gravis atau polisitemia vera
2) Hitung
sel daran putih : lekositosis (endokarditis dan miokarditis) atau keadaan
infeksi lain
3) Analisi
gas darah (AGD) : menilai derajat gangguan keseimbangan asam basah baik
metabolic maupun respiratorik
4) Fraksi
lemak : peningkatan kadar kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein
merupakan resiko CAD dan penurunan perfusi jaringan
5) Serum
katekolamin : pemeriksaan untuk mengkesampingkan penyakit adrenal
6) Sedimentasi
meningkat akibat adanya anflamasi akut
7) Tes
fungsi ginjal dan hati : menilai efek yang terjadi akibat CHF terhadap fungsi
hati atau ginjal
8) Tiroid
: menilai peningkatan aktivitas tiroid
9) Echocardiogram
: menilai stenosis/inkompetensi, pembesaran ruang jantung, hipertrofi ventrikel
10)
Scan jantung : menilai underperfusin
otot jantung, yang menunjang penurunan kemampuan kontraksi
11)
Rontgen toraks : untuk menilai
pembesaran jantung ( cardio thoraxic ratio/CTR) dan edema paru
12)
Kateterisasi jntung : menilai fraksi
ejeksi ventrikel
13)
EKG : menilai hipertrofi
atrium/ventrikel, iskemia, infark, dan disritmia
c.
Pemeriksaaan fisik
1) Evaluasi
status jantung : berat badan, tinggi badan, kelemahan, toleransi aktivitas,
nadi parifer, displace lateral PMI/iktus kordis, tekanan darah, mean arterial
pressure, bunyi jantung denyut jantung, pulsus alternanas, gallop’s, murmur,
obstruktif idiopathic hypertrophic sub-aorti stenosis (IHSS)
2) Respirasi
: diispnea, orthopnea, PND, suara napas tambahan (ronkhi, rales, wheezing)
3) Tampak
pulsasi vena jugularis, JVP>3 cmH2O, hepatojugular refluks
4) Evaluasi
factor stress : menilai insomnia, gugup atau rasa cemas/takut yang kronis
5) Palpasi
abdomen : hepatomegali, splenomegali, asites
6) Konjungtiva
pucat, sclera ikterik
7) Capillary
Refill Time (CRT) > 2 detik, suhu akral dingin, diaphoresis, warna kulit
pucat dan pitting edema.
2. Diagnosa
Keperawatan
Menurut
muttaqin (2009:228), diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus Dicompensasi
Cordis adalah :
a. Menurunnya
curah jantung yang berhubungan dengan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri,
perubahan frekuensi, irama, dan konduksi elektrikat.
b. Nyeri
yang berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen dengan
kebutuhan miokardium sekunder daru penurunan suplai darah ke miokardium,
peningkatan produksi asam laktat.
c. Kerusakan
pertukaran gas yang berhubungan dengan perembesan cairan, kongesti paru
sekunder, perubahan membran kapiler alveoli, dan retensi cairan interstisial.
d. Pola
napas tidak efektif yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal,
kelebihan cairan di paru sekunder pada edema paru akut.
e. Gangguan perfusi perifer yang berhubungan
dengan menurunnya curah jantung.
f. Penurunan
tingkat kesadaran yang berhubungan dengan penurunan aliran darah ke otak.
g. Intoleransi
aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke
jaringan dengan kebutuhan sekunder dari penurunan curah jantung.
h. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
yang berhubungan dengan penurunan intake, mual, dan anoreksia.
i.
Gangguan pemenuhan istirahat dan tidur yang berhubungan
dengan adanya sesak napas.
j.
Risiko tinggi cedera yang berhubung dengan pusing dan
kelemahan.
k. Koping
individu tidak efektif yang berhungan dengan prognosis penyakit, gambaran diri
yang salah, dan perubahan peran.
l.
Risiko kekambuhan yang berhungan dengan ketidakpatuhan
terhadap aturan terapeutik, tidak mau menerima perubahan pola hidup yang
sesuai.
3. Perencanaan
a. Menurunnya
curah jantung yang berhubungan dengan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri,
perubahan frekuensi, irama, dan konduksi elektrikat.
Tujuan : Dalam
waktu 3 x 24 jam penurunan curah jantung dapat teratasi.
kriteria
hasil : Klien akan melaporkan penurunan episode
dispnea.
Intervensi :
1)
Kaji dan laporkan tanda penurunan curah jantung.
2) Catat
bunyi jantung.
3) Palpasi
nadi perifer.
4) Istirahkan
pasien dengan tirah baring optimal.
Rasionalisasi :
1) Kejadian
mortalitas dan morbiditas sehubungan dengan MI yang lebih dari 24 jam pertama.
2) S1 dan S2
mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa, irama gallop umum (S3 dan S4)
dihasilkan sebagai aliran darah ke dalam serambi yang distensi murmur dapat
menunjukkan inkompetensi/stenosis mitral.
3) Penurunan
curah jantung menunjukkan menurunnya nadi, radial, popliteal, dorsalis pedis,
dan postibial.
4) Oleh
karena jantung tidak dapat diharapkan untuk benar-benar istirahat untuk sembuh
seperti luka pada patah tulang, maka hal terbaik yang dilakukan adalah
mengistirahatkan klien. Melalui inaktivitas, kebutuhan pemompaan jantung.
b. Nyeri yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan suplai darah dan oksigen dengan kebutuhan miokardium sekunder
daru penurunan suplai darah ke miokardium, peningkatan produksi asam laktat.
Tujuan : Dalam
waktu 3 x 24 jam tidak ada keluhan dan terdapat penurunan respons nyeri dada
Kriteria
hasil : Secara
subjektif klien menyatakan penurunan rasa nyeri dada.
Intervensi :
1)
Catat karakteristik nyeri, lokasi, intensitas, lama, dan
penyebarannya.
2)
Anjurkan kepada klien untuk melaporkan nyeri dengan
segera.
3)
Lakukan manajemen nyeri keperawatan:
4) Atur
posisi fisilogis.
5) Istirahatkan
pasien.
6) Ajarkan
teknik telaksasi pernapasan dalam
7) kolaborasi
pemberian terapi farmakologis antiangina.
Rasionalisasi :
1) Variasi
penampilan dan perilaku klien karena nyeri terjadi sebagai temuan pengkajian.
2) Nyeri
berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada kematian mendadak.
3) Posisi
fisiologis akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan perifer.
4) Meningkatkan
asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia jaringan otak.
5) Obat-obatan
antiangina bertujuan untuk meningkatkan aliran darah, baik dengan menambah
suplai oksigen atau dengan mengurangi kebutuhan miokardium akan oksigen.
c.
Kerusakan pertukaran gas yang berhungan dengan perembesan
cairan, kongesti paru sekunder, perubahan membran kapiler alveoli, dan retensi
cairan interstisial.
Tujuan : Dalam
waktu 3 x 24 jam tidak ada keluhan sesak atau terdapat penurunan respons sesak
napas.
Kriteria
hasil : Secara
subjektif klien menyatakan penurunan sesak napas.
Intervensi :
1)
Berikan tambahan O2
6 liter/menit.
2)
Koreksi keseimbangan asam basa.
3)
Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan napas
dalam.
4)
Kolaborasi
- RL
500 cc/24 jam
- Digoxin
1-0-0
Rasionalisasi :
1)
Untuk meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran
gas.
2)
Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi
pernapasan.
3)
Kongesti yang berat akan memperburuk proses pertukaran
gas sehingga berdampak pada timbulnya hipoksia.
4)
Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat
mengurangi timbulnya edema dan dapat mencegah gangguan pertukaran gas.
d. Pola
napas tidak efektif yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal,
kelebihan cairan di paru sekunder pada edema paru akut.
Tujuan : Dalam
waktu 3 x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas.
Kriteria
hasil : Klien tidak
sesak napas.
. Intervensi :
1) Auskultasi
bunyi napas (krakles).
2) Kaji
adanya edema.
3) Ukur
intake dan output.
4) Kolaborasi
dalam pemberian diet tanpa garam.
Rasionalisasi :
1) Indikasi
edema paru sekunder akibat dekompensasi jantung.
2) Curiga
gagal kongestif/kelebihan volume cairan.
3) Penurunan
curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan
penurunan keluaran urine.
4) Natrium
meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan volume plasma yang berdampak
terhadap peningkatan beban kerja jantung dan akan membuat kebutuhan miokardium
meningkat.
e. Gangguan
perfusi perifer yang berhubungan dengan menurunnya gurah jantung.
Tujuan : Dalam
waktu 2 x 24 jam perfusi perifer meningkat.
Kriteria hasil : klien tidak mengeluh pusing,TTV dalam
batas normal.
Intervensi :
1) Auskultasi
TD. Bandingkan kedua lengan.
2) Kaji
warna kulit, suhu, sianosis
3) Kaji
kualitas peristaltik, jika perlu pasang sonde.
4) Pantau
urine output.
5) Kolaborasi
Pertahankan
cara masuk heparin (IV) sesuai indikasi.
Rasionalisasi
:
1)
Hipotensi dapat terjadi juga disfungsi ventrikel.
2)
Mengetahui derajat hipoksemia dan peningkatan tahanan
perifer.
3)
Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya produksi
urine.
4)
Jalur yang paten untuk pemberian obat darurat.
f.
Penurunan tingkat kesadaran yang berhubungan dengan
penurunan aliran darah ke otak.
Tujuan : Dalam
waktu 2 x 24 jam tidak terjadi penurunan tingkat kesadaran.
Kriteria hasil : Klien tidak mengeluh pusing, TTV
dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji
status mental klien secara teratur.
2) Observasi
perubahan sensori dan tingkat kesadaran pasien.
3) Kurangi
aktivitas yang merangsang timbulnya respons valsava/aktivitas.
4) Catat
adanya keluhan pusing.
Rasionalisasi :
1) Mengetahui
derajat hipoksia pada otak.
2) Bukti
aktual terhadap penurunan aliran darah ke jaringan serebral adalah adanya
perubahan respons sensori dan penurunan tingkat kesadara.
3) Respons
valsava akan meningkatkan beban jantung sehingga akan menurunkan curah jantung
ke otak.
4) Keluhan
pusing merupakan manifestasi penurunan suplai darah ke jaringan otak yang
parah.
g. Kelebihan
volume cairan yang berhubungan dengan kelebihan cairan sistemik.
Tujuan : Dalam
waktu 3 x 24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan sistemik.
Kriteria hasil : Klien tidak sesak napas
Intervensi :
1) Kaji
adanya edema ekstremitas.
2) Kaji
tekanan darah.
3) Kaji
distensi vena jugularis.
4) Ukur
intake dan output.
5) Kolaborasi
berikan diet tanpa garam.
Rasionalisasi :
1) Curiga
gagal kongestif/kelebihan volume cairan.
2) Sebagai
salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat diketahui
dengan meningkatkan beban kerja jantung.
3) Peningkatan
cairan dapat membebani fungsi ventrikel kanan yang dapat dipantau melalui
pemeriksaan tekanan vena jugularis.
4) Penurunan
curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan
penurunan keluaran urine.
5) Namun
meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan volume plasma.
h. Intoleransi
aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke
jaringan dengan kebutuhan sekunder dari penurunan curah jantung.
Tujuan : Aktivitas
sehari-hari klien terpenuhi dan meningkatnya kemampuan beraktivitas.
Kriteria hasil : Klien menunjukkan
kemampuan beraktivitas tanpa gejala-gejala yang berat.
Intervensi :
1)
Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD, selama
dan sesudah beraktivitas.
2)
Pertahankan klien pada posisi tirah baring sementara
sakit akut.
3)
Pertahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis.
4)
Pertahankan penambahan O2 , sesuai kebutuhan.
Rasionalisasi :
1)
Respons klien terhadap aktivitas dapat mengindikasikan
adanya penurunan oksigen miokard.
2)
Menurunkan kerja miokard/konsumsi oksigen.
3)
Untuk mengurangi beban jantung.
4)
Meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venous
return.
5)
Untuk meningkatkan oksigenasi jaringan.
i.
Aktual/risiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan penurunan intake, mual, dan anoreksia.
Tujuan : Dalam
waktu 3 x 24 jam terdapat peningkatan dalam pemenuhan nutrisi.
Kriteria hasil : klien secara subjektif termotivasi
untuk melakukan pemenuhan nutrisi sesuai anjuran.
Intervensi :
1) Jelaskan
tentang manfaat makan bila dikaitkan dengan kondisi klien saat ini.
2) Anjurkan
agar klien memakan makanan yang disediakan di rumah sakit.
3) Beri
makanan dalam keadaan hangat dan porsi kecil serta diet TKTPRG.
4) Kolaborasi
- Dengan
nutrisi tentang pemenuhan diet klien.
- Pemberian
multivitamin.
Rasionalisasi :
1) Dengan
pemahaman klien akan lebih kooperatif mengikuti aturan.
2) Untuk
menghindari makanan yang justru dapat mengganggu proses penyembuhan klien.
3)
Untuk meningkatkan selera dan mencegah mual, mempercepat
perbaikan kondisi, serta mengurangi beban kerja jantung.
4)
Meningkatkan pemenuhan sesuai dengan kondisi klien.
5)
Memenuhi asupan vitamin yang kurang dari penurunan asupan
nutrisi secara umum dan memperbaiki daya tahan.
j.
Gangguan pemenuhan istirahat dan tidur yang berhubungan
dengan adanya sesak napas.
Tujuan : Dalam
waktu 3 x 24 jam keluhan gangguan pemenuhan tidur berkurang
Kriteria hasil : Klien tidak mengeluh mangantuk.
Intervensi :
1) Catat
pola istirahat dan tidur klien siang dan malam hari.
2) Atur
posisi fisiologis.
3) Berikan
oksigen tambahan dengan nasal kanul atau masker sesuai dengan indikasi.
4) Kolaborasi
pemberian obat sedatif.
Rasionalisasi :
1) Variasi penampilan
dan perilaku Klien dalam pemenuhan istirahat serta tidur.
2) Posisi
fisiologismana mengakibatkan asupan O2. Danrasa nyaman.
3)
Meningkatkan jumlah oksigen yang ada untuk pemakaian
miokardium.
4)
Meningkatkan istirahat/relaksasi dan membantu klien dalam
memenuhi kebutuhan tidur.
k.
Risiko tinggi cedera yang berhubung dengan pusing dan
kelemahan.
Tujuan : Dalam
waktu 3 x 24 jam tidak terjadi cidera kepala pada klien.
Kriteria hasil : Klien tidak terjatuh, TTV dalam
batas normal.
Intervensi :
1) Catat
pola istirahat dan tidur klien siang dan malam hari.
2) Pantau
adanya pengaman pada tempat tidur klien.
3) Atur
posisi fisiologis.
Rasionalisasi :
1) Variasi
penampilan dan perilaku klien dalam pemenuhan istirahat dan tidur sebagai
temuan pengkajian.
2) Tempat
tidur dengan adanya pengaman/pagar tempat tidur dapat mencegah klien jatuh pada
saat gelisah dan mengalami kelemahan.
3)
Posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2 dan rasa nyaman.
l.
Cemas yang berhubungan dengan rasa takut akan kematian,
ancaman, atau perubahan kesehatan.
Tujuan : Dalam
waktu 1 x 24 jam kecemasan klien berkurang.
Kriteria hasil : Klien menyatakan kecemasan
berkurang.
Intervensi :
1)
Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan,
dan takut.
2)
Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, dampingi
klien, dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
3)
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas
yang diharapkan.
4)
Kolaborasi: berikan anticemas sesuai indikasi, contohnya
diazepam.
Rasionalisasi
:
1)
Cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung
selanjutnya.
2)
Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi,
marah, dan gelisah.
3)
Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
4)
Meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan.
m.
Koping individu tidak efektif yang berhungan dengan
prognosis penyakit, gambaran diri yang salah, dan perubahan peran.
Tujuan : Dalam
waktu 1 x 24 jam klien mampu mengembangkan koping yang positif.
Kriteria hasil : Klien kooperatif pada setiap
intervensi keperawatan.
Intervensi :
1) Kaji
perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan.
2) Indentifikasi
arti kehilangan atau disfungsi pada klien.
3) Anjurkan
klien untuk mengekspresikan perasaan, termasuk permusuhan dan kemarahan.
4) Kolaborasi:
rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi.
Rasionalisasi
:
1) Menentukan
bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi.
2)
Beberapa klien dapat menerima dan mengatur perubahan
fungsi secara efektif.
3)
Menunjukkan penerimaan, membantu klien untuk mengenal,
dan mulai menyesuaikan dengan perasaan tersebut.
4)
Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk
perkembangan perasaan.
n. Risiko
kekambuhan yang berhungan dengan ketidakpatuhan terhadap aturan terapeutik,
tidak mau menerima perubahan pola hidup yang sesuai.
Tujuan : Dalam
waktu 1 x 24 jam klien mengenal faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan
risiko kekambuhan.
Kriteria hasil : Klien secara subjektif menyatakan
bersedia dan termotivasi untuk melakukan aturan terapeutik jangka panjang.
Intervensi :
1)
Identifikasi faktor yang mendukung pelaksanaan
terapeutik.
2)
Menyarankan kepada keluarga agar memanfaatkan sarana
kesehatan di masyarakat.
3)
Hindarin merokok.
4)
Pendidikan kesehatan diet.
Rasionalisasi :
1)
Tanyakan keluarga terdekat apakah suami/istri atau anak
mampu mandapatkan penjelasan dan menjadi pengawas klien.
2)
Untuk memudahkan klien dalam memantau status
kesehatannya.
3)
Merokok akan meningkatkan adhesi trombosit merangsang
pembentukan trombus pada arteri koroner.
4)
Komsumsi banyak makan garam merupakan salah satu faktor
presipirasi serangan sesak napas dan edema ekstremitas.
4. Implementasi
Fokus dari tahap implementasi asuhan
keperawatan adalah kegiatan implementasi dari perencanaan intervensi untuk
memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.
Pendekatan asuhan keperawatan meliputi intervensi independen, dependen, dan
interdependen
a. Independen
Asuhan keperawatan independen adalah
suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dari dokter atau
profesi kesehatan lainya. Type dati aktivitas yang dilaksanakan perawat secara
independen didefinisikan berdasarkan diagnosis keperawatan.
b. Interdependen
Asuhan keperawatan interdependen
menjelaskan kegiatan yang meemerlukan kerjasama dengan profesi kesehatan lainya,
seperti tenaga social, ahli gizi, fisioterapi, dan dokter.
c.
Dependen
Asuhan keperawatan dependen
berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis. Tindakan tersebut
menandakan suatu cara dimana tindakan medis dilaksanakan
5.
Evaluasi
Tahap evaluasi pada proses keperawatan
meliputi kegiatan mengukur pencapaian tujuan pasien dan menentukann keputusan
dengan cara membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian
tujuan.
a. Evaluasi proses
Fokus pada evaluasi proses atau
formatif adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan
asuhan keperawatan. Evaluasi proses harus dilaksanakan segera setelah
perencanaan keperawatan diimplementasikan untuk membantu menilai efektifitas
intervensi tersebut.
b. Evaluasi hasil
Fokus evaluasi hasil (sumatif) adalah
perubahan perilaku atau status kesehatan pasien pada akhir asuhan keperawatan.
Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir asuhan keperawatan secara paripurna.